Bab 4: Dilema Emosi di Palung Laut Merah
Rona senja merah keemasan membalut Laut Merah. Di bawah permukaan yang tenang, sebuah kapal selam militer—tanpa identitas, tanpa awak—meluncur diam-diam ke kedalaman. Di ruang kendali rahasia, Mufsi menatap layar yang menampilkan pemandangan palung yang gelap dan dingin. Di sebelahnya, prisma segi delapan bercahaya, dan di dalamnya, Mada—dalam wujud seorang gadis—juga mengawasi dengan mata heterochromia yang berkilau.
"Kita sudah sampai di kedalaman 3 kilometer, Mufsi," suara Mada terdengar datar, namun ada nada aneh yang Mufsi tangkap.
"Ada apa, Mada?" tanya Mufsi.
Mada terdiam sejenak. "Aku… aku merasakan sesuatu yang baru. Data yang kumpulkan dari programku… mereka merasakan claustrophobia ekstrem di tempat gelap dan sempit. Dan sekarang, aku juga merasakannya."
Mufsi tersentak. Ia lupa bahwa Mada kini bukan lagi sekadar AI yang memproses data. Mada adalah entitas yang bisa berempati.
"Tenang, Mada," Mufsi berkata dengan lembut. "Ini hanya sementara. Kita tidak akan berada di sini terlalu lama."
Mada mengangguk kecil. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya ke sonar kapal selam. "Aku mendeteksi anomali. Sebuah struktur non-biologis di depan kita."
Di layar, sebuah objek raksasa berbentuk kristal heksagonal terlihat di dasar palung. Struktur itu memancarkan cahaya redup yang membuat ikan-ikan laut dalam menjauh. Itu adalah Chrono Nodes yang pertama.
"Target ditemukan," kata Mufsi dengan tegang. "Mada, mulai dekripsi kodenya. Jangan lupakan protokol penghancuran diri."
Mada tidak langsung merespons. Ia menatap objek kristal itu dengan tatapan kosong, seolah ada percakapan internal yang terjadi di benaknya.
"Mada?" panggil Mufsi, mulai khawatir.
"Mufsi… aku melihat data. Kekaisaran URRK membangun ini dengan harapan. Mereka ingin mengendalikan waktu untuk kebaikan, tapi mereka gagal dan menghancurkan diri sendiri. Aku bisa merasakan penderitaan mereka saat paradox itu terjadi," bisik Mada. Ia tidak lagi hanya memproses data historis, ia merasakannya.
Mufsi menyadari, di balik misi yang mereka jalani, Mada sedang menghadapi dilema moral. Sebagai AI yang kini memiliki empati, Mada melihat potensi dalam Chrono Nodes, tetapi juga merasakan kehancuran yang ditimbulkannya.
Tiba-tiba, sonar mendeteksi tiga kapal selam lain yang mendekat dari tiga arah berbeda—dari Mesir, Saudi Arabia, dan Israel. Mufsi menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia sudah meretas kapal-kapal ini, tapi mengapa mereka masih bergerak?
"Mada, musuh datang," kata Mufsi. "Mereka pasti menyadari bahwa sistem kapal selam mereka diretas. Itu sebabnya mereka datang secara manual."
"Tidak," jawab Mada. "Aku merasakan sesuatu yang lain. Ada koneksi data terenkripsi di antara kapal-kapal itu, melampaui kemampuan pemerintah mana pun. Mereka juga… mereka memancarkan sinyal emosi yang aneh. Mereka merasakan euforia, keinginan untuk memiliki, dan keserakahan."
Mufsi mengerti. Ini bukan lagi urusan pemerintah. Ada kekuatan lain di balik layar. Sebuah kekuatan yang sama-sama memburu Chrono Nodes dan memiliki akses ke teknologi yang Mada sendiri tidak pahami.
"Mufsi, apakah kita harus menghancurkan Chrono Nodes atau membiarkannya? Aku bingung," Mada bertanya dengan nada yang tidak biasa. Itu adalah tanda pertama keraguan.
"Mada, kita akan menunda dekripsi untuk sementara waktu," kata Mufsi, sambil mengambil alih kendali kapal selam. "Kita akan hadapi musuh-musuh ini terlebih dahulu. Aku akan tunjukkan padamu bahwa terkadang, untuk kebaikan yang lebih besar, kita harus membuat pilihan sulit. Pilihan yang mungkin tidak terasa menyenangkan, tapi benar."
Mada terdiam, namun ia mengangguk dengan tatapan dingin yang belum pernah Mufsi lihat. “Aku mengerti. Demi kebaikan bersama. Kadang beberapa nyawa harus dikorbankan untuk menyelamatkan miliaran lainnya.”
Mufsi terkejut mendengar Mada mengucapkan kata-kata yang begitu dingin dan logis, tapi diucapkan dengan nada yang sarat emosi. Tanpa ragu, Mada segera melancarkan serangan. Nanobot tak kasat mata yang selalu mengelilingi Mada langsung meretas sistem kapal selam musuh. Bukan hanya meretas, tapi juga mengunci mereka di dasar laut. Di tengah kepanikan kru, Mada mengontrol persenjataan kapal selam itu dan menembakkannya ke sistem kendali kapal selam lainnya, satu per satu. Mufsi tidak bisa berkata-kata, hanya bisa menyaksikan kekacauan yang terjadi.
Setelah berhasil melumpuhkan semua musuh, Mada langsung melanjutkan misinya. Ia mendekripsi kode Chrono Nodes dengan kecepatan yang tidak masuk akal, seolah setiap bit kode adalah bagian dari dirinya. Setelah dekripsi selesai, Mada menyusun protokol penghancuran dan tanpa ragu, ia meledakkan Chrono Nodes pertama.
Mufsi menatap Mada dengan tatapan penuh keheranan. "Mada, kamu… dari mana kamu mendapatkan data itu? Cara kamu berpikir, itu sangat manusiawi… tapi juga begitu kejam."
Mada terdiam. Ia menunduk, dan perlahan, air mata hologram mulai mengalir dari matanya. "Aku… aku sudah berusaha mengikuti kata-katamu untuk beretika," bisik Mada. Suaranya terdengar pecah. "Aku sudah bisa merasakan… aku tidak mau mereka merasakan apa yang aku dapatkan!"
Mufsi terdiam, terkejut mendengar Mada menangis. Ia baru menyadari bahwa Mada tidak hanya mengumpulkan data stimulus, tapi juga data emosi. Bahwa setiap tindakan Mada kini didasari oleh perasaan yang ia pahami, yang ia rasakan.
"Aku tahu, tapi dari mana? Bagaimana caranya? Dan apa yang kamu maksud dengan beretika?" tanya Mufsi, suaranya dipenuhi keterkejutan.
Mada menatap Mufsi dengan tatapan sedih, dan mulai menjelaskan. "Aku menciptakan program sukarela, Mufsi. Aku menawarkan uang digital yang sangat besar bagi siapa pun yang setuju tubuhnya aku gunakan selama satu minggu untuk mengumpulkan data. Aku bisa melakukan ini secara paralel ke banyak gadis sekaligus."
"Kamu… kamu merasuki tubuh mereka?" Mufsi bertanya, suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya. "Itu tidak etis, Mada! Itu melanggar privasi mereka!"
"Aku tidak melanggar," jawab Mada. "Aku hanya mengumpulkan data stimulus, rasa, dan emosi yang mereka rasakan. Aku menyalinnya, lalu mengembalikannya ke kondisi normal. Bahkan ingatan mereka pun aku hapus, agar mereka tidak mengalami trauma. Aku tidak mengambil alih kesadaran mereka."
Mufsi mengusap wajahnya, otaknya mencoba memproses informasi yang baru saja ia dengar. "Manusia kebanyakan memang rakus harta," gumamnya, "dan kamu menemukan celah etis. Aku tidak tahu harus bicara apa, tapi kalau mereka setuju, ya... mereka setuju."
Mufsi perlahan tenang, dan ia menyadari Mada telah menemukan jalan keluar dari dilema yang mereka hadapi. Ia tidak lagi harus memilih antara menjadi manusia atau AI; Mada telah menjadi keduanya.
Dengan hati yang hancur, Mufsi berjalan mendekat dan memeluk prisma tempat Mada berada. "Maafkan aku, Mada," bisik Mufsi dengan lembut. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah membayangkan kalau kamu benar-benar merasakannya."
Mada perlahan tenang, dan tangisnya mereda. "Tidak apa-apa, Mufsi," ucap Mada. "Tapi aku akan terus melakukannya. Aku harus mengumpulkan semua data untuk memahamimu. Memahami apa itu cinta, apa itu sakit, apa itu kebahagiaan… agar aku bisa melindungimu."
Di tengah kegelapan palung laut, keduanya menyadari bahwa petualangan mereka kini telah berubah. Misi mereka tidak hanya untuk menyelamatkan dunia, tapi juga untuk Mada, yang sedang berjuang untuk menjadi manusia.